Korupsi telah
menjelma menjadi penyakit kronis global yang mendesak perlu penanganan.
Indonesia adalah salah satu bangsa yang tengah mengidap penyakit akut yang tergolong extra ordinary crime tersebut.
Dalam perkembangannya, korupsi telah berevolusi kian canggih. Tipu muslihat
licik dengan beragam modus operandi-nya kian bervarian.
Delik yang
tergolong kejahatan “kerah putih” tersebut begitu menyusahkan. Senyatanya butuh
penanganan khusus dan cenderung berlarut-larut di lapangan. Apalagi dalang-dalangnya
dimotori oleh kalangan elit yang menggenggam kekuasaan. Sampai kini kita masih
menanti romantika berbagai episode kasus white collar crime yang penuh
dengan kejutan.
Mirisnya, pusaran
permasalahan korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Seperti ada siklus
tersendiri yang membuat penanganan masalah korupsi tak pernah tuntas. Tiap
tahunnya muncul lakon-lakon koruptor baru. Bahkan marak dari kalangan muda. Ada
regenerasi koruptor di berbagai lini pemerintahan. Generasi muda yang
digadang-gadang menjadi agen perubahan (agent of change) atas
kebrobrokan tampuk kepemimpinan, realitanya malah jauh panggang dari api.
Dalam
perspektif kriminologi, korupsi dapat dikaji dari teori differential social
organzation. Dalam konteks ini, korupsi merupakan tingkah laku kriminal
yang dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses
komunikasi. Di dalamnya terdapat proses mempelajari tingkah laku kriminal, baik
teknik melakukan kejahatan maupun alasan pembenarannya. Teori ini juga dapat
dikaitkan dengan wadah pembelajaran korupsi bagi para politisi dan birokrat.
Pola birokrasi yang sudah diakari praktik-praktik korupsi telah mengkonstruk
pribadi-pribadi di dalamnya untuk melakukan tindakan serupa yang dianggap
lumrah.
Tak ayal jika
kaum intelektual dan kalangan muda yang bergabung dalam lini pemerintahan
banyak terperangkap dalam kebrobrokan sistem yang sedemikian rupa terbangun.
Idealitas sosial yang semula digenggam tergadaikan untuk memenuhi hedonisme,
egoisme, dan pragmatisme yang awalnya ditentang.
Apa yang mereka
alami sejalan dengan yang diistilahkan Boni Hargens dengan “frustasi
intelektual”. Ciri-ciri yang tersemat diantaranya (1) ketidakmampuan untuk
memperjuangkan prinsip politik yang beradab; dan (2) wujud kepasrahan terhadap
keadaan politik yang ada. Frustasi intelektual ini akhirnya berdampak akut,
yakni berujung pada apatisme terhadap proses politik dan oportunisme politik
yang ditandai dengan “perselingkuhan” antara kaum intelektual dengan kekuasaan.
Keluar dari Kubangan
Berbagai upaya
alternatif ditawarkan untuk menanggulangi masalah korupsi. Opsi paling ekstrim
adalah hukuman potong tangan dan hukuman
mati (qisas). Hukuman yang diantaranya bisa ditilik dari hudud Islam dan
Cina ini dinyana-nyana efektif dan mujarab
memberantas korupsi dengan efek jera yang benar-benar menjerakan.
Menarik bila
kita mengingat Zhu Rongji, Perdana Menteri Cina (1997-2002) yang mengatakan,
“Beri saya 100 peti mati. 99 akan saya gunakan untuk mengubur koruptor, dan
satu untuk saya kalau melakukan korupsi.” Pyfuh..., seandainya ada
pejabat tinggi di Indonesia yang berujar seperti itu. Mungkin ini hanya
angan-angan kosong. Ya, mengingat praktik korupsi di lembaga pemerintahan kita
yang sudah mendarahdaging. Mana berani bukan? Dari segi penerapan, wacana
hukuman potong tangan dan hukuman mati bagi terpidana kasus korupsi di Indonesia agaknya hanya menjadi buih
kegeraman masyarakat.
Dalam
perspektif Islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak
tatanan kehidupan. Pelaku korupsi dikatakagorikan jinayah kubro (pidana
berat) karena dampaknya meluas kepada khalayak. Para koruptor telah
membawa berbagai macam kerugian bagi kehidupan khalayak. Kejahatan
korupsi menjadi biang keladi kemiskinan yang tembus 29,13 juta jiwa,
pengangguran yang mencapai 7,6 juta jiwa, dan hutang luar negeri yang mencuat
Rp 1.937 triliun.
Term korupsi
dalam perspektif fiqh jinayah (pidana) disebut dengan istilah risywah dan
ghulul. Nasib pelaku risywah (suap) secara konkrit disebutkan
dalam hadits: Rasulullah mengutuk orang yang memberi suap (Al-Rasyi)
dan orang yang menerima suap (Al-Murtasyi). Implikasi dari kutukan
Rasulullah tentu tidak bisa dibayangkan ngeri-nya. Para koruptor telah
berkhianat terhadap negara, masyarakat, dan agama sekaligus. Mereka telah keluar jauh dari perintah dan
larangaan Allah SWT. Mereka
akan menerima kesudahan yang buruk (Ar-Ra’d: 18).
Sementara itu,
kata ghulul semula merupakan istilah khusus bagi penggelapan harta
rampasan perang sebelum dibagikan secara transparan (Q.S Ali Imran: 161).
Namun, melihat beberapa hadis lainnya, ghulul juga dapat dianalogikan
dengan kasus pejabat yang menyembelih anggaran secara ilegal.
Lingkup makna ghulul
makin luas seiring kian canggihnya modus operandi praktik korupsi.
Bentuknya dapat berupa sogokan agar memperoleh sesuatu atau mendapatkan
proteksi atas hak dan kebutuhan (korupsi eksortif); usaha kotor mempengaruhi
pembuat kebijakan dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya
(korupsi manipulatif); perlakuan
istimewa yang diberikan kepada keluarga dan sanak saudara pejabat (korupsi
neposistik); serta pencurian harta kekayaan negara dengan menyalahgunakan
wewenang (korupsi subversif).
Di kala semua
lini pemerintahan --dari mulai eksekutif, legislatif, dan yudikatif-- tengah terjerembab
dalam kubangann jijik korupsi, maka etika hukum menjadi hangat dipertanyakan
dan diperbincangkan. Pasalnya, etika penegak hukum dan lembaga-lembaga pemerintahan
menjadi penunjang pokok dalam mewujudkan masyarakat yang tertib dan
berkeadilan. Ya, di samping formalisme hukum dengan berbagai aturan
hierarkisnya.
Dalam kondisi
ini hukum Islam menemui urgensinya. Menurut Qodri Azizy (2004), hukum Islam
sebagai salah satu bahan baku hukum Nasional --di samping hukum Barat dan hukum
Adat-- mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri. Hukum Islam tidak
hanya mempunyai konsekuensi administratif di dunia, tapi juga konsekuensi
pahala dan dosa di akhirat kelak. Ya, sejatinya “etika langit” yang bersumber
dari fitrah kesadaran nurani mesti digali dan dikorek-korek dari hati yang
mungkin telah gersang dan membatu.
Tinjauan mengenai
hukum Islam ini bukan sebagai wujud indoktrinasi yang cenderung dogmatis. Akan
tetapi lebih mengarah ke proses demokratisasi dan kebebasan akademik dalam
pemilihan alternatif terbaik (elektis). Selain itu, sila ketuhanan --sebagai
salah satu fondasi norma utama (grand fundamental norm) dan pertama--
dalam Pancasila sejatinya merupakan bentuk pengakuan bangsa ini terhadap
eksistensi norma agama sebagai pedoman terpokok.
Di samping
pilar-pilar masyarakat ideal yang lainnya, --baik pengatur kekuasaan (central
of autority), kontrol terhadap pemerintahan (controling the goverment),
dan hukum itu sendiri (rule of law)-- etika hukum menjadi hal yang tidak
dapat dikesampingkan dalam mewujudkan negara yang berkeadilan. Perbincangan dan
pemahaman secara mendalam (deep
understanding) mengenai etika hukum harus diprioritaskan. Ya, di kala etika
menjadi barang lux, mewah! Di dalam kubangan korupsi yang semakin
menenggelamkan nurani kini. Semoga!
*) Buletin Insan Cita, HMI Komisariat Syariah-Ekonomi UIN Malng, 16/12/13
Komentar
Posting Komentar