Langsung ke konten utama

Etika Langit dalam Kubangan Korupsi*)



Korupsi telah menjelma menjadi penyakit kronis global yang mendesak perlu penanganan. Indonesia adalah salah satu bangsa yang tengah mengidap penyakit  akut yang tergolong extra ordinary crime tersebut. Dalam perkembangannya, korupsi telah berevolusi kian canggih. Tipu muslihat licik dengan beragam modus operandi-nya kian bervarian.
Delik yang tergolong kejahatan “kerah putih” tersebut begitu menyusahkan. Senyatanya butuh penanganan khusus dan cenderung berlarut-larut di lapangan. Apalagi dalang-dalangnya dimotori oleh kalangan elit yang menggenggam kekuasaan. Sampai kini kita masih menanti romantika berbagai episode kasus white collar crime yang penuh dengan kejutan.
Mirisnya, pusaran permasalahan korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Seperti ada siklus tersendiri yang membuat penanganan masalah korupsi tak pernah tuntas. Tiap tahunnya muncul lakon-lakon koruptor baru. Bahkan marak dari kalangan muda. Ada regenerasi koruptor di berbagai lini pemerintahan. Generasi muda yang digadang-gadang menjadi agen perubahan (agent of change) atas kebrobrokan tampuk kepemimpinan, realitanya malah jauh panggang dari api.
Dalam perspektif kriminologi, korupsi dapat dikaji dari teori differential social organzation. Dalam konteks ini, korupsi merupakan tingkah laku kriminal yang dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi. Di dalamnya terdapat proses mempelajari tingkah laku kriminal, baik teknik melakukan kejahatan maupun alasan pembenarannya. Teori ini juga dapat dikaitkan dengan wadah pembelajaran korupsi bagi para politisi dan birokrat. Pola birokrasi yang sudah diakari praktik-praktik korupsi telah mengkonstruk pribadi-pribadi di dalamnya untuk melakukan tindakan serupa yang dianggap lumrah.
Tak ayal jika kaum intelektual dan kalangan muda yang bergabung dalam lini pemerintahan banyak terperangkap dalam kebrobrokan sistem yang sedemikian rupa terbangun. Idealitas sosial yang semula digenggam tergadaikan untuk memenuhi hedonisme, egoisme, dan pragmatisme yang awalnya ditentang.
Apa yang mereka alami sejalan dengan yang diistilahkan Boni Hargens dengan “frustasi intelektual”. Ciri-ciri yang tersemat diantaranya (1) ketidakmampuan untuk memperjuangkan prinsip politik yang beradab; dan (2) wujud kepasrahan terhadap keadaan politik yang ada. Frustasi intelektual ini akhirnya berdampak akut, yakni berujung pada apatisme terhadap proses politik dan oportunisme politik yang ditandai dengan “perselingkuhan” antara kaum intelektual dengan kekuasaan.

Keluar dari Kubangan
Berbagai upaya alternatif ditawarkan untuk menanggulangi masalah korupsi. Opsi paling ekstrim adalah hukuman  potong tangan dan hukuman mati (qisas). Hukuman yang diantaranya bisa ditilik dari hudud Islam dan Cina ini dinyana-nyana efektif dan mujarab  memberantas korupsi dengan efek jera yang benar-benar menjerakan.
Menarik bila kita mengingat Zhu Rongji, Perdana Menteri Cina (1997-2002) yang mengatakan, “Beri saya 100 peti mati. 99 akan saya gunakan untuk mengubur koruptor, dan satu untuk saya kalau melakukan korupsi.” Pyfuh..., seandainya ada pejabat tinggi di Indonesia yang berujar seperti itu. Mungkin ini hanya angan-angan kosong. Ya, mengingat praktik korupsi di lembaga pemerintahan kita yang sudah mendarahdaging. Mana berani bukan? Dari segi penerapan, wacana hukuman potong tangan dan hukuman mati bagi terpidana kasus korupsi  di Indonesia agaknya hanya menjadi buih kegeraman masyarakat.
Dalam perspektif Islam, korupsi termasuk perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelaku korupsi dikatakagorikan jinayah kubro (pidana berat) karena dampaknya meluas kepada khalayak. Para koruptor telah membawa berbagai macam kerugian bagi kehidupan khalayak. Kejahatan korupsi menjadi biang keladi kemiskinan yang tembus 29,13 juta jiwa, pengangguran yang mencapai 7,6 juta jiwa, dan hutang luar negeri yang mencuat Rp 1.937 triliun.
Term korupsi dalam perspektif fiqh jinayah (pidana) disebut dengan istilah risywah dan ghulul. Nasib pelaku risywah (suap) secara konkrit disebutkan dalam hadits: Rasulullah mengutuk orang yang memberi suap (Al-Rasyi) dan orang yang menerima suap (Al-Murtasyi). Implikasi dari kutukan Rasulullah tentu tidak bisa dibayangkan ngeri-nya. Para koruptor telah berkhianat terhadap negara, masyarakat, dan agama sekaligus. Mereka telah keluar jauh dari perintah dan larangaan Allah SWT. Mereka akan menerima kesudahan yang buruk (Ar-Ra’d: 18).
Sementara itu, kata ghulul semula merupakan istilah khusus bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan secara transparan (Q.S Ali Imran: 161). Namun, melihat beberapa hadis lainnya, ghulul juga dapat dianalogikan dengan kasus pejabat yang menyembelih anggaran secara ilegal.
Lingkup makna ghulul makin luas seiring kian canggihnya modus operandi praktik korupsi. Bentuknya dapat berupa sogokan agar memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhan (korupsi eksortif); usaha kotor mempengaruhi pembuat kebijakan dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya (korupsi manipulatif);  perlakuan istimewa yang diberikan kepada keluarga dan sanak saudara pejabat (korupsi neposistik); serta pencurian harta kekayaan negara dengan menyalahgunakan wewenang  (korupsi subversif).
Di kala semua lini pemerintahan --dari mulai eksekutif, legislatif, dan yudikatif-- tengah terjerembab dalam kubangann jijik korupsi, maka etika hukum menjadi hangat dipertanyakan dan diperbincangkan. Pasalnya, etika penegak hukum dan lembaga-lembaga pemerintahan menjadi penunjang pokok dalam mewujudkan masyarakat yang tertib dan berkeadilan. Ya, di samping formalisme hukum dengan berbagai aturan hierarkisnya.
Dalam kondisi ini hukum Islam menemui urgensinya. Menurut Qodri Azizy (2004), hukum Islam sebagai salah satu bahan baku hukum Nasional --di samping hukum Barat dan hukum Adat-- mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri. Hukum Islam tidak hanya mempunyai konsekuensi administratif di dunia, tapi juga konsekuensi pahala dan dosa di akhirat kelak. Ya, sejatinya “etika langit” yang bersumber dari fitrah kesadaran nurani mesti digali dan dikorek-korek dari hati yang mungkin telah gersang dan membatu.
Tinjauan mengenai hukum Islam ini bukan sebagai wujud indoktrinasi yang cenderung dogmatis. Akan tetapi lebih mengarah ke proses demokratisasi dan kebebasan akademik dalam pemilihan alternatif terbaik (elektis). Selain itu, sila ketuhanan --sebagai salah satu fondasi norma utama (grand fundamental norm) dan pertama-- dalam Pancasila sejatinya merupakan bentuk pengakuan bangsa ini terhadap eksistensi norma agama sebagai pedoman terpokok.
Di samping pilar-pilar masyarakat ideal yang lainnya, --baik pengatur kekuasaan (central of autority), kontrol terhadap pemerintahan (controling the goverment), dan hukum itu sendiri (rule of law)-- etika hukum menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan dalam mewujudkan negara yang berkeadilan. Perbincangan dan pemahaman secara mendalam (deep understanding) mengenai etika hukum harus diprioritaskan. Ya, di kala etika menjadi barang lux, mewah! Di dalam kubangan korupsi yang semakin menenggelamkan nurani kini. Semoga!

*) Buletin Insan Cita, HMI Komisariat Syariah-Ekonomi UIN Malng, 16/12/13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengurai Benang Kusut Korupsi*)

Indonesia terus dirundung kegalauan akibat korupsi. Bangsa ini senyatanya tengah mengidap penyakit   akut yang tergolong extra ordinary crime tersebut. Apalagi di wilayah penguasa. Semua lini pemerintahan di aras eksekutif, legislatif, dan yudikatif tengah terjerembab dalam kubangan kasus korupsi ( trias koruptika ). Fenomena ini semakin menguatkan tesis Lord Acton, sejarawan Inggris: abuse of power, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Pusaran permasalahan korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Seperti ada siklus tersendiri yang membuat penanganan masalah korupsi tak pernah tuntas. Tiap tahunnya muncul lakon-lakon baru. Politisi yang kerap menyerukan slogan anti-korupsi dalam iklan-iklan didaktis televisi atau dalam iklan-iklan politis jalanan, pada akhirnya tersangkut jaring KPK. Kita terus mengelus dada. Apalagi pesta demokrasi dalam Pemilu sedang dipersiapkan sedemikian rupa. Mirisnya, marak dari kalangan elit muda yang tersangkut kasus korupsi. Generasi yang di...

Mengubah Dunia dengan Media

  “Barang siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik. Pihak-pihak tertentu di berbagai sektor kehidupan yang digandeng media cenderung memenangkan persaingan. Kemajuan suatu perusahaan dalam memasarkan produknya tak lepas dari

Terorisme dan Stempelisasi Islam

SEIRING kuatnya ancaman terorisme Islamic State of Irak and Syria (ISIS) yang disambut kalangan ekstrimis radikal di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang menggelar dialog pencegahan terorisme, Rabu (19/11) lalu, di rektorat UIN Maliki Malang. Prof Dr Irfan Idris MA, Direktur Deradikalisasi BNPT, menyosialisasikan program kontra radikalisasi dan deradikalisasi untuk membendung gerakan radikal. Upaya ini ditempuh antara lain melalui pembinaan kepribadian dan kemandirian hidup kepada para narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu juga digencarkan sosialisasi pada seluruh perguruan tinggi sekolah-sekolah yang kian menunjukkan anarkisme edukasi, serta pesantren yang sering diidentikkan sebagai sarang teroris. Upaya pemberdayaan rumah ibadah juga digerakkan. Pasalnya, banyak masjid yang dibajak kalangan radikalisme teroris untuk mendakwahkan doktrin-doktrin kerasnya. Pemateri lainnya, KH...