Langsung ke konten utama

Ternyata Mahasiswa Bukan Intelektual! (Sebuah Peluru Otokritik)


Kaum intelektual sering di identikkan dengan kalangan akademisi. Apalagi mahasiswa, prototipe ideal yang gerakannya dinanti-nanti sebagai sosok intelektual. Tetapi yang terjadi dewasa ini cenderung jauh dari harapan. Kebanyakan adalah sivitas akademik dengan teori-teori yang melangit. Komunitas yang bermukim di menara gading ilmu pengetahuan. Jauh dari realitas kemasyarakatan.
Mahasiswa ternyata
cenderung mendefinisasikan intelektual secara parsial (ya, termasuk saya). Mahasiswa seolah menjadi pioner perubahan (agent of change), tetapi kebanyakan hanya berkubang di batas dinding kelas dan pagar universitas. Idealitas yang dimilikinya kenyataanya telah tergadaikan dan berpenyakitan. 
Baik mahasiswa akademis, aktivis dan apalagi hedonis agaknya telah menjauhkan diri dari jubah intelektual. Penyakit intelektual yang sering bersarang pada mahasiswa akademis adalah sikap apatis dan realistis. Ia cenderung masa bodoh terhadap kondisi komunitas di sekitarnya. Ia cenderung fokus pada pencapaian akademik. Nilai dan indeks prestasi yang menjulang jadi buruan. Orang lain tertatih dalam tangisan pemenuhan kebutuhan tak jadi pikiran.
Mahasiswa aktivis yang dulu digandrungi karena idealialitas sosialnya juga langka ditemui memenuhi kriteria intelektual sejati. Sejarah telah berkisah tentang kegagahan para aktivis dalam mengawal Indonesia. Kita masih teringat lantangnya angkatan ’28 dalam sumpah pemuda. Kita tidak akan lupa pula dengan ulah para pemuda angkatan ’45 yang mengasingkan Soekarno ke Rengasdengklok yang berujung pada diploklamirkannya kemerdekaan bangsa Indonesia. Kita juga masih terkenang kedigdayaan mahasiswa angkatan  ‘98 dalam menumbangkan rezim otoritarian Soeharto. Realitasnya kini, mayoritas para aktivis kampus cenderung terkena penyakit split personality dan kungkungan kepentingan politis pragmatis. Mereka cenderung mengasingkan diri antar bendera organisasi. Yang muncul kini adalah eksklusifisme. Serang menyerang identitas golongan masing-masing disertai perasaan kejumawaan golongan sendiri yang bersarang di dada. Di dalam tubuh masing-masing cenderung an sich terfokus pada pengkaderan dan diskusi-diskusi terbatas. 
Ranah yang ketiga yakni di kalangan mahasiswa hedonis. Wah, apalagi pribadi yang satu ini. Aktivitasnya tak lain hanya menuruti nafsu kepemudaannya. Ia menjadi budak-budak kapitalis. Budaya konsumeris jadi trend.Tipe yang satu ini lebih membahayakan dari kedua tipe di atas. Jauh dari budaya akademik dan idealitas sosial.
Intelektual semestinya adalah sosok “wah” yang disertai dengan kematangan pemikiran dan keluhuran idealitas sosial. Ia bisa berasal dari kalangan mana saja. Buruh serabutan, tukang becak, lulusan SD, tukang sapu, dan lebih-lebih dari kalangan terpelajar. Ya, dari mana saja. Asalkan ia memiliki pemikiran dan gerakan yang menjurus pada kemaslahatan masyarakat. Ia dapat memberdayakan komunitas di sekitarnya. Ia dapat menjadi lentera di pusaran kejumudan dan keterbelakangan. Ia mampu mengangkat derajat masyarakat ke tingkatan yang lebih etis. Ya, seperti yang diungkapkan Ali Syari’ati; “Kaum intelektual adalah kaum yang tercerahkan.” Lebih lanjut ia mengungkapkan; “Kaum intelektual adalah tititasan perangai nabi. Ia memiliki kesadaran yang menjulang akan kemaslahatan kaumnya. Ia menjadi tumpuan dan harapan orang di sekitarnya.”
Mahasiswa seharusnya melakukan reorientasi gerakan intelektual. Mahasiswa bila ingin disebut intelektual seharusnya mencerahkan. Idealnya, ia harus mengamalkan keilmuannya di masyarakat. Teori-teori di perkuliahan sudah selayaknya di bumikan di komunitas sekitarnya. Toh itu adalah upaya pembelajaran efektif untuk tejun ke masyarakat kelak sebagai sosok intelektual yang utuh. Kita harus bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat. Semoga!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengurai Benang Kusut Korupsi*)

Indonesia terus dirundung kegalauan akibat korupsi. Bangsa ini senyatanya tengah mengidap penyakit   akut yang tergolong extra ordinary crime tersebut. Apalagi di wilayah penguasa. Semua lini pemerintahan di aras eksekutif, legislatif, dan yudikatif tengah terjerembab dalam kubangan kasus korupsi ( trias koruptika ). Fenomena ini semakin menguatkan tesis Lord Acton, sejarawan Inggris: abuse of power, kekuasaan itu cenderung menyeleweng. Pusaran permasalahan korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Seperti ada siklus tersendiri yang membuat penanganan masalah korupsi tak pernah tuntas. Tiap tahunnya muncul lakon-lakon baru. Politisi yang kerap menyerukan slogan anti-korupsi dalam iklan-iklan didaktis televisi atau dalam iklan-iklan politis jalanan, pada akhirnya tersangkut jaring KPK. Kita terus mengelus dada. Apalagi pesta demokrasi dalam Pemilu sedang dipersiapkan sedemikian rupa. Mirisnya, marak dari kalangan elit muda yang tersangkut kasus korupsi. Generasi yang di...

Mengubah Dunia dengan Media

  “Barang siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik. Pihak-pihak tertentu di berbagai sektor kehidupan yang digandeng media cenderung memenangkan persaingan. Kemajuan suatu perusahaan dalam memasarkan produknya tak lepas dari

Terorisme dan Stempelisasi Islam

SEIRING kuatnya ancaman terorisme Islamic State of Irak and Syria (ISIS) yang disambut kalangan ekstrimis radikal di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang menggelar dialog pencegahan terorisme, Rabu (19/11) lalu, di rektorat UIN Maliki Malang. Prof Dr Irfan Idris MA, Direktur Deradikalisasi BNPT, menyosialisasikan program kontra radikalisasi dan deradikalisasi untuk membendung gerakan radikal. Upaya ini ditempuh antara lain melalui pembinaan kepribadian dan kemandirian hidup kepada para narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu juga digencarkan sosialisasi pada seluruh perguruan tinggi sekolah-sekolah yang kian menunjukkan anarkisme edukasi, serta pesantren yang sering diidentikkan sebagai sarang teroris. Upaya pemberdayaan rumah ibadah juga digerakkan. Pasalnya, banyak masjid yang dibajak kalangan radikalisme teroris untuk mendakwahkan doktrin-doktrin kerasnya. Pemateri lainnya, KH...