Lima puluh dua tahun silam (14 Agustus
1961), Gerakan Pramuka resmi diperkenalkan kepada khalayak. Semua organisasi
kepanduan disatukan untuk merebak kungkungan kolonialisme, komunisme, fanatisme
kedaerahan, dan politik praktis, serta mengisi pembangunan. Euforia dan
antusiasme meledak. Gerakan Pramuka memperoleh tanggapan positif dari
masayrakat luas. Dalam waktu relatif singkat, organisasi ini berdiri dari kota sampai di desa.
Pasca peristiwa G.30.S/PKI meledak, dalam sekejap
terjadi suatu revolusi sosial dengan timbulnya orde baru yang menuntut
pemurnian Undang-Undang Dasar 1945 (1 Oktober 1965). Gerakan Pramuka juga tidak
ketinggalan untuk menyesuaikan diri dan menyerasikan pelaksanaan tugas pokoknya
dengan perkembangan masyarkat Indonesia pada waktu itu.
Langkah cerdas dilakukan. Dengan melihat realitas
prosentasi terbesar rakyat Indonesia berada di desa dengan sektor pertanian,
para Pramuka menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian
dan pembangunan masyarakat desa. Menteri Pertanian dan Ketua Kwarnas Gerakan
Pramuka mengeluarkan suatu Insruksi Bersama yaitu pembentukan satuan-satuan
Karya Pramuka Tarunabumi (1966). Penemuan-penemuan baru para pemuda-pemuda desa
menopang kehidupan masyarakat desa. Hal ini selanjutnya mengundang perhatian
badan-badan internasional seperti FAO, UNICEF, ILO, dan World Scout Bureau,
serta rentetan pujian dari masyarakat Indonesia.
Masalah-masalah sosial seperti kepadatan penduduk,
urbanisasi, dan pengangguran tidak luput dari perhatian. Menteri Traskop dan Ketua Kwarnas Gerakan
Pramuka mengeluarkan suatu Instruksi Bersama, tentang partisipasi Gerakan
Pramuka dalam penyelenggaraan Transmigrasi dan pembinaan Gerakan Koperasi
(1970). Gerakan Pramuka juga mengarahkan perhatiannya kepada pendidikan kejuruan,
untuk memberi bekal hidup kepada anak-anak dan pemuda, terutama bagi kalangan
putus sekolah.
Namun, pascareformasi keadaan bergeser. Gerakan
Pramuka seolah kehilangan roh. Berjalan gontai dan loyo. Mulai ditinggalkan
para pengikutnya yang mengenyam pendidikan kepramukaan sedari sekolah dasar.
Seiring dengan kembali beragamnya organisasi kepemudaan, pilihan pun beralih
pada yang lebih menarik. Belum lagi kecenderungan modernitas kehidupan
masyarakat mengkonstruk pemikiran kaula muda untuk lebih sibuk dengan
tehnologi, konsumerisme, dan budaya populer.
Agar
Tegap
Pascareformasi problematika yang
dihadapi kaum muda kian kompleks. Krisis nasionalisme dan dekadensi moral
merambah di mana-mana. Bahkan ranah pedesaan juga kebobolan. Gaya hidup yang
berhaluan hedonis konsumeris, tren
kebebasan seks (free sex), dan narkotika adalah momok masa depan bangsa.
Lebih komplit lagi. Meluapnya
nasionalisme generasi muda diwarnai dengan kebobrokan tampuk perpolitikan kaum
tua. Bukannya menjadi penuntas problem kebangsaan, strata elit tua malah
menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Komaruddin
Hidayat, bangsa ini telah jatuh dalam kubangan self-destroying nation, yakni
bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri. Ya, ironis.
Gerakan Pramuka sejatinya berada pada
garda terdepan membentuk kaum muda menjadi pemimpin dan negarawan dengan
idealitas tinggi. Pemaknaan mendalam (deep
understanding) terhadap prinsip dasar, metode, dan kode kehormatan pramuka,
serta nilai-nilai pancasila akan membentuk generasi adiluhung dan berkarakter. Menyingkirkan
tikus-tikus birokrasi yang menggrogoti pilar-pilar bangsa. Oleh karena itu,
pramuka masih dibutuhkan dan diharapkan sebagai tameng karakter kaula muda.
Model pendidikan kepramukaan bukan hanya
bersifat semi militer dalam artian dibutuhkan sebagai garda cadangan seandainya
penjajah kolonial kembali muncul. Ya, globalisasi telah melahirkan
neokolonialisme, wajah penjajah baru yang siap memberangus bangsa dengan
pendekatan terselubung. Kolonialisme kini bukan lagi dalam bentuk penindasan
fisik, tetapi lewat pengobrak-abrikan ekonomi dan budaya.
Seperti yang diakui John Perkins dalam bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004).
Perkins adalah economic hit man (EHM)
yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi suatu
korporasi. Mereka melakukannya melalui manipulasi ekonomi, kecurangan,
penipuan, seks, pembunuhan, atau merayu orang untuk mengikuti cara hidup bobrok
Amerika.
Hal ini penting disadari oleh setiap
gugus depan sebagai wadah pembinaan terdepan. Pandangan terhadap masalah
masyarakat global perlu dikaji sebagai orientasi gerak di aras lokal. Kaum muda
yang menjadi korban kapitalisme dan asing terhadap budaya lokal yang menjadi
representasi karakter bangsa murni harus diselamatkan. Kalangan pramuka yang
tercerahkan dengan hal ini jangan serta merta memerangi mereka. Menjadi sosok
idealis yang mengkhotbah setiap saat. Mereka akhirnya tidak nyaman dan menjauh.
Insan pramuka tidak selamanya harus
mengasingkan diri dari baudaya modern. Lebih berorientasi pada
kegiatan-kegiatan seperti berkemah, simaphore, api unggun, pionering, baris
berbaris, atau yang lainnya. Ikon budaya pop (musik, nonton, jalan-jalan,
bermian, film, fotografi, internet, game online, animasi, ngobrol) harus
dijajal sebagai titik pijak gerakan. Ya, sembari memasuki dengan nilai-nilai
substansial kepramukaan yang termanifestasi dalam satya dharma pramuka.
Di tengah pergantian era sistem sentralistik, tidak
ada alasan lagi bagi Gerakan Pramuka
untuk tidak bermodifikasi agar kompatibel dengan semangat perubahan
zaman. Paham dan pendekatan usang yang ditawarkan perlu didaurulang. Pendekatan
kepramukaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat (community
oriented) akan ikut membantu menyulut empati masyarakat dan antusiasme kaula
muda. Dengan begitu, pramuka pramuka berjalan tegap mengantarkan bangsa ini
bermartabat. Salam pramuka!
*) Dimuat di Malang Post, 14 Agustus 2013
Komentar
Posting Komentar