Indonesia
terus dirundung kegalauan akibat korupsi. Bangsa ini senyatanya tengah mengidap
penyakit akut yang tergolong extra
ordinary crime tersebut. Apalagi di wilayah penguasa. Semua lini
pemerintahan di aras eksekutif, legislatif, dan yudikatif tengah terjerembab
dalam kubangan kasus korupsi (trias koruptika). Fenomena ini semakin
menguatkan tesis Lord Acton, sejarawan Inggris: abuse of power,
kekuasaan itu cenderung menyeleweng.
Pusaran
permasalahan korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Seperti ada siklus
tersendiri yang membuat penanganan masalah korupsi tak pernah tuntas. Tiap
tahunnya muncul lakon-lakon baru. Politisi yang kerap menyerukan slogan
anti-korupsi dalam iklan-iklan didaktis televisi atau dalam iklan-iklan politis
jalanan, pada akhirnya tersangkut jaring KPK. Kita terus mengelus dada. Apalagi
pesta demokrasi dalam Pemilu sedang dipersiapkan sedemikian rupa. Mirisnya,
marak dari kalangan elit muda yang tersangkut kasus korupsi. Generasi yang
digadang-gadang menjadi agen perubahan (agent of change) atas
kebrobrokan tampuk kepemimpinan kaum tua, realitanya jauh panggang dari api.
Dalam
perspektif kriminologi, korupsi dapat dikaji dari teori differential social
organzation. Dalam konteks ini, korupsi merupakan tingkah laku kriminal
yang dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses
komunikasi. Di dalamnya terdapat proses mempelajari tingkah laku kriminal. Baik
teknik melakukan kejahatan maupun alasan pembenarannya. Teori ini dapat
dikaitkan dengan wadah pembelajaran korupsi bagi para politisi dan birokrat.
Pola birokrasi dan sistem pemerintahan yang diakari praktik-praktik korupsi
telah mengkonstruk pribadi-pribadi di dalamnya melakukan tindakan serupa dan dianggap
lumrah.
Tak
ayal jika kaum intelektual dan kalangan muda yang masuk dalam pemerintahan
banyak terperangkap dalam kebrobrokan sistem yang sedemikian rupa terbangun.
Idealisme yang semula digenggam digadaikan untuk memenuhi pragmatisme, oportunisme,
egoisme, dan hedonisme yang awalnya ditentang.
Apa
yang mereka alami sejalan dengan yang diistilahkan Boni Hargens dengan
“frustasi intelektual”. Ciri-ciri yang tersemat yakni ketidakmampuan untuk
memperjuangkan prinsip politik yang beradab dan wujud kepasrahan terhadap
keadaan politik yang ada. Frustasi intelektual ini akhirnya berdampak akut: apatisme
terhadap proses politik dan oportunisme politik yang ditandai dengan
“perselingkuhan” antara kaum intelektual dengan kekuasaan.
Mengikis Kebebalan
Selain sistem bobrok yang terbangun, menurut
Jonh S.T. Quah terdapat tiga faktor yang melatar belakangi adanya korupsi yakni
gaji rendah, kesempatan, dan risiko ringan. Bila mengacu
pada faktor-faktor ini berarti
penanggulangan akan menemui jalan labirin yang sulit menemui
konklusi. Tiap tahun ukuran mata uang dan kekayaan selalu berubah. Maka hasrat
terhadap peningkatan
pemenuhan hidup akan selalu ada.
Begitu pula dengan kesempatan dan resiko. Akan selalu ada dan semakin canggih modus operandi-nya.
Dalam
tataran praksis, kesadaran akan pentingnya etika dan budaya hukum yang
berkeadaban dan praktik politik bermoral tinggi di aras elit politik murni
harus dijulangkan. Bagi para elit kini yang duduk di singgah sana pemerintahan
hendaklah mawas diri. Tak terketukkah hati ‘bapak dan ibu yang terhormat’
terhadap berbagai keterpurukan bangsa ini? Tak bergemingkah nurani ‘bapak dan
ibu yang terhormat’ terhadap imbas korupsi yang memilukan? Biang keladi kemiskinan yang tembus
29,13 juta jiwa, pengangguran yang mencapai 7,6 juta jiwa, dan hutang luar
negeri yang mencuat Rp 1.937 triliun.
Di
ranah pendidikan, orang tua dan guru adalah arsitek utama dalam
membangun karakter generasi muda. Idealitas anti-korupsi sangat tepat dibangun
dalam jenjang ini. Peran ini sejatinya ditempuh dengan suri tauladan luhur dan
petuah menyejukkan yang dapat terekam baik di sanubari anak. Pendidikan dalam
hal ini bukan lagi transfer of knowledge an sich, tetapi juga upaya
transfer moral and values. Prinsip “keuangan yang maha kuasa” harus
benar-benar dihanguskan. Sehingga pandangan hidup matrealistik dan positivistik
tidak mewabah ke generasi muda berikutnya.
Lepas
dari itu semua, para koruptor telah berkhianat terhadap negara, masyarakat, dan
agama sekaligus. Mereka telah keluar jauh dari perintah dan larangaan Allah SWT. Mereka akan menerima kesudahan yang buruk (Ar-Ra’d: 18). Pencerahan
terkait karma para koruptor ini diharapkan dapat mengikis kebebalan
pandangan-pandangan korupsi. Pada akhirnya tidak ada lagi bentuk-bentuk
pembenaran dan kemunafikan dengan kedok moral dan agama. Tidak ada lagi modus korupsi moral dan etik berupa
justifikasi ilmiah atau fatwa keagamaan dengan tampil saleh: menunaikan ibadah haji, menyumbang untuk pembangunan masjid, menyantuni anak-anak yatim, memberi
makan fakir miskin, memberi beasiswa belajar bagi anak tak mampu, dan bentuk
kemunafikan lainnya. Semoga!
FIQH VREDIAN A.A
*) Dimuat di Koran Pendidikan, Edisi 505/III/19-25 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar