..........................................................................
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Taufiq Ismail, Malu (aku) Jadi Orang Indonesia, 1998
Suatu kali, sedang nikmat-nikmatnya nyeruput
kopi di warung kopi depan kampus, datang seorang senior fakultas pendidikan. Orang-orang
menyebutnya aktivis idealis. Karena ia aktif berorganisasi, pribadinya jujuur
dan lantang menyerukan keadilan. Dengan langkah juntai dan mimik muram dia
menghampiri saya. “Weleh weleh, zaman makin bejat. Semuanya jadi jahat.
Barang mulia keluar mandat.” Cetusnya. “Wah
pandai nian aktivis idealis bersyair. Lagi galau ya mas?” Tanggap saya. “Kalau lulus kelak, aku ogalah jadi guru. Mending jadi pengusaha.” Jawabnya.
pandai nian aktivis idealis bersyair. Lagi galau ya mas?” Tanggap saya. “Kalau lulus kelak, aku ogalah jadi guru. Mending jadi pengusaha.” Jawabnya.
Mahasiswa fakultas pendidikan enggan jadi
guru. Sekilas saya langsung menilai argumen itu adalah guyonan renyah sang
aktivis idealis. Tapi saya coba menyimak secara konkrit keluh kesahnya.
“Bulan ini ane dikasih tugas nyusun
proposal pengadaan lima kelas baru di SMA tempat ane kerja. Nah, setelah
lembur beberapa malam, ane ajuin itu proposal. Tapi mungkin dasar banyak
kesalahan, proposalnya ditolak.Yang bikin kesel, itu proposal udah
ane revisi dan ajuin tiga kali berturut-turut, tapi tetep
ditolak. Lebih pegel lagi waktu ane tanyain sama atasan,
ternyata ada rukun pengajuan proposal yang belum ditunaikan. Ya, “selipan
amplop pelicin”. Besoknya ane buktiin, itu proposal ane selipin
amplop pelicin tanpa ane revisi lagi isinya. Eng ing eng,
langsung diterima. Bayangin coba. Kata atasan ane di tata usaha SMA,
masalah amplop itu udah biasa, dasar ane aja orang baru. Katanya, proyek
yang lain juga nggak beda-beda amat.”
“Kenapa kagak dituntut mas?”
“Mana cukup
bukti....”
“Dijebak aja, kumpulin
saksi-saksi, sadup percakapannya di kantor, kayak yang dilakuin KPK....”
“Hmm.... Ya, taruhlah itu berhasil. Tapi apa
itu bisa buat mereka jera? Lagian, mau lapor sama siapa,
wong ‘sapu pembersihnya’ kotor juga.”
Senior saya yang terkenal dengan idealitasnya
agaknya telah putus asa melihat kebobrokan sistem dimasyarakat. Kekecewaannya
adalah satu dari berjuta kekecewaan masyarakat terhadap penyelewengan pelayanan
publik. Tiap hari di berbagai media massa tak libur memeberitakan kasus
penyelewengan baru. Yang paling gencar diwartakan apalagi kalau bukan kasus korupsi.
Terutama di berbagai institusi pemerintahan. Seolah menjadi sarang
perselingkuhan kebijakan publik dengan kepentingan golongan tertentu.
Kebobrokan tersebut menaikkan tingkat a priori publik terhadap
pemerintah.
Hal diatas tentunya mengusik tujuan negara
Indonesia yang diemban para pelayan publik di berbagai sektor. Seperti yang
tercantum dalam Preambule UUD 1945 alenia keempat : “....melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.”
Para pelayan publik di masing-masing
profesinya memikul harapan nasional masyarakat atas tercapainya kemakmuran.
Tapi masyarakat harus menelan “pil kosong”, ketika para pelayan publik tersebut
sering menyelewengkan tanggung jawab dan lepas tangan. Boro-boro
memberikan khasiat dedikasi.
Pada tahun 2011, Transparency
International (TI) kembali meluncurkan Corruption Perception Index (CPI) secara
global. Tujuan peluncuran CPI setiap tahun adalah untuk selalu mengingatkan
bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia. Tahun ini CPI
mengukur tingkat korupsi dari 183 negara, dengan rentang indeks antara 0 sampai
dengan 10, di mana 0 berarti negara tersebut dipersepsikan sangat korup,
sementara 10 berarti negara yang bersangkutan dipersepsikan sangat bersih. Dua
pertiga dari negara yang diukur memiliki skor di bawah lima, termasuk Indonesia. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia berada di bawah
Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand. Sementara Vietnam, Kamboja, Laos dan
Myanmar skornya lebih rendah dari Indonesia (www.ti.or.id).
Coba kita lihat pejabat yang waktu kampanye
menyanyikan janji-janji ideal. Mereka awalnya lantang menyuarakan kepedulian atas nasib bangsa dan negara. Mereka membawa impian kerakyatan besar semisal advokasi masyarakat,
pembasmian korupsi, pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
lain-lain. Tapi setelah mereka terpilih sebagai wakil rakyat, kenyataannya utopis. Mereka termakan realitas kebobrokan
birokrasi dan kepentingan golongan. Idealitas yang dibawa, diperjualbelikan untuk
memenuhi hedonisme, egoisme, individualisme dan pragmatisme yang awalnya
ditentang.
Idealitas dengan keteguhan prinsip moral,
integritas, dan komitmen dengan sadar diacukan. Idealitas yang semestinya
sebagai dasar penerapan hukum malah dicopot dari diri. Hukum dikendalikan
sebagai alat pragmatis mencapai tujuan personal dan golongan. Suara keadilan
yang bersumber dari hati nurani tak digubris.
Kaum terpelajar yang terjun di berbagai sektor
masyarakat, diangen-angen dapat memperbaiki tatanan masyarakat. Tapi
kenyataanya utopis juga, justru tidak sedikit yang menyimpang. Ukuran
kecerdasan dan profesionalisme mungkin banyak yang mumpuni, tapi watak
kebejatan dan primordialisme moral banyak pula yang miliki. Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyatakan ada 50% PNS berusia
muda mendadak kaya yang diduga hasil tindak pidana korupsi (www.ti.or.id).
Lembaga pendidikan sejatinya digunakan sebagai
wilayah tutorial pembentukan ideologi etis dan peneguhan pendirian. Tentunya
kita akan kecewa bila mengandalkan interaksi kelas yang sangat terbatas. Empati
tenaga pengajar kepada peserta didik layaknya menembus dimensi ruang dan waktu.
Wilayah organisasi di luar kelas juga jitu kiranya sebagai tempat penempaan.
Tentunya dengan disertai monitoring yang intens. Mengingat kemajemukan ideologi
organisasi.
Namun ideologi yang seperti apa yang patut
dipertahankan sebagai suatu idealitas? Apa ideologi komunisnya Karl Max? Apakah
ideologi sosialisnya kaum ploretar dengan kepemilikan sosialnya? Mungkin juga
ideologi liberalismenya kaum borjuis dengan kebebasan individunya? Atau
ideologi Pancasila dengan keadilan sosialnya? Bagaimana dengan ideologi islam
sendiri?
Tiga
pilihan awal dapat kita singkirkan jauh-jauh. Karena sudah terfilterisasi
ketika memasuki atmosfer filterisasi ideologi di Indonesia. Ketiganya tela
dikunyah sejarah, karena bertentangan dengan keadaan sosio kultural masyarakat
Indonesia.
Produk penyesuaian dari ketiganya kita
sepakati sebagai identitas nasional, yaitu ideologi Pancasila. Nilai-nilai
dasarnya telah terkristalisasi dalam konstitusi NKRI yang merupakan hasil
konsensus. Pilihan yang terakhir—ideologi Islam (atau bisa dikatakan aqidah
Islam)—telah, masih, dan terus dipegang teguh mayoritas warga negara Indonesia.
Esensinya mengilhami pembentukan ideologi Pancasila.
Aqidah keislaman diantaranya mengakui sifat qidam
(terdahulu) Allah sebagai pencipta dan baqo’ (kekal) Allah swt yang
memastikan adanya hari peradilan kelak. Penerap ideologi ini otomatis akan
merasa hati-hati dalam menunaikan tanggung jawab keduniaannya. Nah, ideologi
kedua ideologi diataslah yang harus digali dan pertahankan. Perpaduan
kepentingan negara dan ukhrawi dapat membentus negarawan spiritualis yang mempunyai
“rem” ketika menjalankan roda pemerintahan dan instansinya.
Perampokan Pejabat
Perampok : "Berikan semua
uangmu!"
Korban : "Tidak! Kamu tahu aku ini
seorang anggota DPR!"
Perampok : "Kalau begitu, berikan
semua uangKU sekarang!!!"
(ketawa.com)
Komentar
Posting Komentar