Bila di pemukiman Anda atau di tempat-tempat yang Anda kunjungi
kemarin (9/1) telah terjadi malapetaka semisal kecelakaan, kebakaran, bencana
alam. Atau mungkin Anda sendiri yang mengalaminya. Barang kali karena kemarin
bertepatan dengan “Rebo Wekasan”. Konon pada hari Rabu terakhir di bulan
Safar (dalam kalender Jawa) atau bulan Muharram (dalam kalender hijriyah),
tersebar 320.000 bala’ (malapetaka) di muka bumi. Dalam menghadapi hari
naas ini
dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Di beberapa daerah diantaranya diadakan shalat hajat lidaf’il bala’ (tolak malapetaka), shalawat, dan do’a. Menurut salah satu kitab klasik, barang siapa yang shalat empat rakaat pada hari tersebut, maka Allah dengan sifat karam-Nya akan menjaganya dari semua malapetaka.
dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Di beberapa daerah diantaranya diadakan shalat hajat lidaf’il bala’ (tolak malapetaka), shalawat, dan do’a. Menurut salah satu kitab klasik, barang siapa yang shalat empat rakaat pada hari tersebut, maka Allah dengan sifat karam-Nya akan menjaganya dari semua malapetaka.
Ada tradisi menarik perihal amalan tahunan ini di Kabupaten
Banyuwangi. Khususnya di Desa Gintangan, Kecamatan Rogojampi. Warga desa
Gintangan tidak akan melaksanakan aktivitas hariannya sebelum menunaikan
tradisi ini. Para istri tidak akan mempersilakan para suami lepas landas
bekerja. Anak-anak tidak akan beranjak menggendong tas ke sekolah.
Kelompok-kelompok lansia belum sudi menenteng arit dan pacul menuju persawahan.Ya,
sebelum beraktivitas, semua warga desa Gintangan tumpah ruah memenuhi masjid
dan mushalla terdekat.
Ketika berangkat menuju masjid, mereka membawa kantong plastik berisi
jajanan pasar yang beranekaragam. Dan setelah shalat lidaf’il bala’
bersama, mereka membaur untuk memakan jajanan pasar yang telah dikumpulkan di
atas nampan-nampan besar. Semua kalangan desa dari mulai pejabat, guru, ustad,
santri, anak sekolahan, petani, buruh, takmir masjid, pengangguran dan lainnya
bergumul menjadi satu. Mereka dengan rukun melahap satu demi satu tumpukan
jajanan pasar. Tak ayal, rasa kebersamaan dan persahabatan bergetar kuat di sanubari
pelaksananya. Suasana harmonis terbentuk sedemikian rupa dalam tradisi ini. Dialog-dialog komunikatif terurai di sela-sela lahapan.
Guyonan-guyonan renyah bertalu-talu mengundang canda tawa.
Membawa bungkusan jajanan pasar ke masjid atau mushalla di Desa
Gintangan saat “Rebo Wekasan” bukanlah suatu hal yang diwajibkan. Secara
historis, tradisi ini merupakan kreatifitas ulama’ terdahulu dalam berijtihad.
Kebiasaan membawa jajanan pasar diharapkan dapat mengundang gairah warga untuk
beribadah dan meramaikan masjid dan mushalla. Dari masa ke masa tradisi ini
terus dilestarikan bersama kearifan lokalnya tersebut. Ya, salah satu budaya
bangsa yang masih bertahan saat ini. Budaya yang masih hidup di tengah kepungan
globalisasi dan kepongahan sosial dewasa ini. Tradisi “Rebo Wekasan” turut
berperan dalam upaya pembangunan karakter warga Desa Gintangan yang religius,
bersahabat, dan komunikatif. Secara tidak langsung tradisi ini urun andil dalam
mensukseskan agenda nasional, pembangunan karakter bangsa (nation carakter
building).
Komentar
Posting Komentar