Ramai,
gaduh, berisik. Celetukan melengking. Guyonan berseru-seru. Cekikikan
bertalu-talu. Warga kelas tengah menikmati keterlambatan dosen. Saya rangkul
satu untuk berbincang tenang. Kurangi satu kegaduhan. Saya angkat tema hangat
mahasiswa baru. “Gimana Sob, mau ikut
organisasi apa?” “Nggak dulu deh. Aku mau fokus kuliah dulu.
Pfiuh .... Boro-boro ikut organisasi. Kuliah aja udah ribet
banget.” Jawabnya. “Assalamu’alaikum,” salam dengan nada berat, pertanda
dosen tiba. Seperti biasa, awal kuliah kami dihadiahi kuis berisi pertanyaan
tentang materi yang hari ini akan dibahas. Eng ing eng,
teman saya tadi, ketiban rezeki. “Apa pengertian Ideologi Pancasila?” Tanya dosen. “em..., em..., ndak tau pak.” “Tidak belajar ya?” “Ya..., belajar pak.” Hm..., belajar begadang mungkin. Wong tadi malam saya lihat dia enak-enakan nyeruput kopi dan nyedot rokok semalaman di Pondok.
teman saya tadi, ketiban rezeki. “Apa pengertian Ideologi Pancasila?” Tanya dosen. “em..., em..., ndak tau pak.” “Tidak belajar ya?” “Ya..., belajar pak.” Hm..., belajar begadang mungkin. Wong tadi malam saya lihat dia enak-enakan nyeruput kopi dan nyedot rokok semalaman di Pondok.
Suatu
kali di awal perkuliahan ketika kesepakatan kontrak perkuliahan. Dosen saya
yang lainnya menerangkan mengenai sistem
pembelajaran andragogi di kebanyakan kampus, termasuk di kampus kami, Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. Dimana diterangkan
bahwa mahasiswa harus aktif belajar mandiri. Dosen hanya sebagai fasilitator. Disampaikan
lagi bahwa penyampaian materi di kelas hanya sekitar 30 % dari materi
perkuliahan yang ada. Yang jadi masalah, jika para Mahasiswa yang kebanyakan
masih nyaman dengan sistem belajar pedagogi di sekolah menengah, dimana murid
lebih banyak menerima, bisa dibayangkan bahayanya. Bila Mahasiswa masih leha-leha
menunggu arahan materi dari dosen, agaknya profil lulusan yang diharapkan UIN
Maliki Malang akan jauh bertolak
belakang, yakni kementahan profesional dan kesempitan ilmu pengetahuan, bahkan akan
berimbas pada kedangkalan spiritual dan kekerdilan akhlaq.
Menarik melihat riwayat kemahasiswaan Prof. Dr. Azyumardi Azra,
M.A. yang sejak
tahun 1998 hingga akhir 2006 adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut pengakuan pria Minangkabau ini sikap intelaktualnya tumbuh
alami dari awal seiring dengan komunitas diskusi yang dimasukinya. Ketika masih
mahasiswa, komunitas intelektualnya adalah Forum Diskusi HP2M (Himpunan Untuk
Penelitian dan Pengembangan Masyarakat) Ciputat, kemudian HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) dilingkungan Ciputat, lalu meningkat ke LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), bahkan sampai ke
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebelum melanglang buana ke mancanegara. Sekarang daya nalar
intelektualnya dibutuhkan di mana-mana sebagai rujukan untuk memecahkan
berbagai persoalan bangsa (mahmudi.multiply.com).
Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. mengakui sendiri, organisasi
berperan penting dalam penempaan intelektualnya. Ia menemukan “penambal”
distorsi prosentase keilmuan di kelas. Ia dapat meraup pundi-pundi keilmuan
yang tidak ia dapatkan di kelas. Ia menjadi pribadi yang matang dengan beradaptasi
pada habitat kajian dan diskusi di organisasinya.
Setelah menanggalkan status
mahasiswanya, budaya berorganisasinya masih terbawa. Ia terus aktif di berbagai
organisasi bergengsi. Diantaranya adalah Anggota Selection Committee Toyota
Foundation & The Japan Foundation (1998-1999), Anggota SC SEASREP
(Southeast Asian Studies Regional Exchange Program) (1998), Pengurus Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) (1998-sekarang), Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Anggota the International Association
of Historian of Asia (IAHA) (1998-sekarang), Visiting Fellow pada Oxford Centre
for Islamic Studies, Oxford University (1994-1995), Dosen Tamu University of
Philippines dan University Malaya (1997), External Examiner, Ph.D. Program University
Malaya (UM) (1998-sekarang), Anggota Dewan Redaksi Jurnal Ulumul Quran, Anggota
Dewan Redaksi Islamika, Pemimpin Redaksi Jurnal Studia Islamika, Wakil Direktur
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, Anggota Redaksi
Jurnal Quranic Studies, SOAS/University of London, dan Jurnal Ushuludin
University Malaya, Kuala Lumpur (azyumardiazra.com).
Lepas
dari sisi intelektual akademik, berorganisasi memegang peranan penting
menunaikan tanggung jawab sosial kita sebagai Mahasiswa. Empati sosial kita
terhadap masyarakat yang berharap hidup layak setidaknya dapat terimplementasi
(tentunya dengan pergerakan organisasi
yang nyata). Tugas kita sebagai agen of change dan agen of
control dapat terfasilitasi. Itu kiranya yang ingin disampaikan kakak
tingkat saya yang merupakan aktivis tulen.
Dengan
nada bersahaja aktivis tulen itu juga mengatakan, “Intelektual yang benar
adalah yang mencerahkan. Mungkin kita lancar dan lantang beragumen di kelas.
Tapi banyak akademisi yang ‘gagap’ memecahkan persoalan faktual di masyarakat.
Dengan berorganisasi, setidaknya kita mencoba belajar mengurai dan
menerjemahkan persoalan aktual masyarakat. Kita coba bangun dari ‘kasur’
tekstual menuju ‘lapangan’ kontekstual. Keluar dari ranah teori ke ranah
aplikatif dan solutif.”
Senada
dengan pandangan Anies Baswedan, Ph.D. Berikut ini potongan wawancara bersama
Anies yang dilakukan Fadli
Ariesta dan Rachmat Darma Putera terkait
pergerakan mahasiswa yang ditranskirpsikan dan diposkan di situs www.eduaksi.kompasiana.com :
Menurut Mas Anies, Mahasiswa yang aktif berorganisasi
itu baik atau tidak?
“... Pengalaman berorganiasi selama kuliah, itu
merupakan modal untuk bisa meniti karir kedepan dengan baik. Oleh karena itu
saya sangat mendukung dan menurut saya sangat penting bagi anak-anak yang
sedang kuliah untuk mengembangkan diri lewat organisasi ...”
Lalu dengan begitu pentingnya aktif berorganisasi itu maka
apakah ada porsi yang pas antara belajar dengan berorganisasi, 50-50 kah
porsinya? Atau kita harus tetap mendahulukan kuliah dulu?
“Anda sebagai mahasiswa apa sih kewajiban mahasiswa
ini? Kuliah, bukan? Itu bukan dinomorsatukan atau tidak, itu sesuatu yang harus
dikerjakan jadi jangan katakan itu terpisahkan . Itu sudah hal yang harus
dikerjakan. Jadi, Demikian juga dengan aktivisme, proporsinya akan tergantung
penyesuaian pada suasanannya ...”
Lebih lanjut Anies menganalogikan dengan indah tentang mahasiswa, organisasi, dan kepemimpinan.
“... Saya selalu mengatakan belajarlah berorganisasi dan
bermasyarakat di kampus karena kampus itu karakternya seperti kolam renang.
Karekter kolam renang itu pakai bata, kedalamnnya terukur, tekanannya terukur,
ombaknya tidak ada. Anda mau belajar berenang di Samudra Pasifik? Kedalamanya
tidak terukur, suhunya luar biasa dingin, ombaknya besar. That’s leadership
challenge for the future, itulah tantangan bagi masa depan Anda. Kebanyakan
orang baru belajar berenang saat mereka sudah sampai samudra pasifik,
bisa survive tapi bisa juga tenggelam. Kalau Anda belajar
kepemimpinan di saat mahasiswa, Anda masih belajar di lingkungan yang masih
terukur, kadar beban kepemimpinan Anda itu terukur, seperti Anda belajar
berenang di kolam renang. Karenanya kalau mau belajar kepemimpinan lakukan
sekarang, jangan nanti saat sudah selesai kuliah. Karena disana tantangannya
sangat besar sekali, mendadak Anda baru belajar kepemimpinan saat tantangaannya
sangat besar sekali, kalau Anda gagal maka Anda akan tenggelam.”
Komentar
Posting Komentar