Ramadhan
dengan segala pernak-perniknya selalu dinanti-nanti. Ramah disambut dengan
euforia membuncah. Ragam ibadah, sajian khas media massa, dan beragam suguhan
pasar jadi ciri khas tersendiri. Baik kaum melarat maupun konglomerat bersuka
cita memenuhi seruan Allah SWT untuk berpuasa. Menurut pandangan Quraish Shihab
(1994), puasa tidak lepas dari upaya pengendalian diri yang menuntun manusia ‘keluar
dari kebiasaan’, belenggu penghambat
kemajuan.
Tetapi
kontradikif. Setiap datangnya Ramadhan,
harga komoditas bahan pokok naik. Permintaan pasar melonjak serta merta bebarengan dengan euforia spiritual Ramadhan. Fenomena ini ‘keluar dari kebiasaan’ dibandingkan bulan-bulan lain. Kebijakan impor sembako akhirnya menjadi pilihan karena pemerintah kewalahan memenuhi kebutuhan masyarakat. Rentan Juni 2013. Telah diimpor cabai 22.737 ton dan bawang merah 60.000 ton. Rentan dekat akan ditambah kuota impor cabai 9.715 ton dan bawang merah 16.781 ton.
harga komoditas bahan pokok naik. Permintaan pasar melonjak serta merta bebarengan dengan euforia spiritual Ramadhan. Fenomena ini ‘keluar dari kebiasaan’ dibandingkan bulan-bulan lain. Kebijakan impor sembako akhirnya menjadi pilihan karena pemerintah kewalahan memenuhi kebutuhan masyarakat. Rentan Juni 2013. Telah diimpor cabai 22.737 ton dan bawang merah 60.000 ton. Rentan dekat akan ditambah kuota impor cabai 9.715 ton dan bawang merah 16.781 ton.
Aneh.
Negara kita yang sedari dulu dipuja-puja bangsa lain karena kekayaan SDA-nya,
kini harus mengimpor. Tetapi mau
bagaimana lagi. Kebijakan impor ini agaknya memang merupakan jalan efisien
memenuhi komsumerisme masyarakat.
Perlu
direnungi pula saat berbuka puasa. Saat puasa, kita memang ‘keluar dari
kebiasaan’ dengan tidak makan dan minum. Tetapi saat berbuka puasa, banyak dari
kita ‘keluar dari kebiasaan’ dengan memunculkan hidangan-hidangan istimewa yang
langka ditemui di bulan-bulan lainnya. Usaha menahan lapar dan dahaga seharian
dirayakan dengan beraneka menu lahapan. Seolah balas dendam, hidangan dilibas
habis dengan murka. Hawa nafsu yang dibelenggu sedemikian rupa akhirnya jebol
saat berbuka puasa.
Manusia
memang merupakan makhluk yang gandrung merayakan sesuatu. Seperti yang
diungkapkan Komaruddin Hidayat (2013) dalam buku Psikologi Kematian 2. Manusia adalah
homo festivus. Gemar menggelar perayaan sebagai memorial di hari esok.
Di
pelbagai bidang kehidupan banyak dihiasi dengan perayaan. Banyak contohnya. Di
panggung politik dihiasi pesta demokrasi, hajatan pemilu raya. Di kancah olah
raga diwarnai dengan gegap gempita olimpiade dan piala dunia. Contoh yang
sederhana semisal perayaan ulang tahun, selamatan pindahan rumah, atau syukuran kelahiran bayi.
Tanpa
perayaan atau festival kehidupan manusia terasa hambar. Datar dan tawar. Di
tengah aktifitas kesehariannya, manusia memang membutuhkan kegiatan rekreatif. Agar
hidup terasa menarik dan tidak terasa menjemukan. Apa lagi dengan munculnya
titik jenuh dalam berusaha, perayaan atau festival menjadi alternatif
tersendiri.
Akan
tetapi, jika tabiat manusia ini terus dituruti akan melahirkan konsumerisme. Keperluan
yang tidak menjadi kebutuhan akhirnya dipenuhi. Berlebih-lebihan dan hura-hura
jadinya. Ya, mubazir. Melampaui
batas yang dibutuhkan oleh tubuh. Hidup hanya disibukkan dengan
berfoya-foya. Akhirnya mengundang pelbagai kemudlaratan.
Tabiat
manusia ini seringkali menjangkiti ibadah Ramadhan. Terutama ibadah puasa. Puasa
sebagai salah satu bentuk ibadah dijadikan dalih bermewah-mewahan. Berfoya-foya
saat berbuka puasa dijadikan imbalan atas susah payah menahan lapar, dahaga,
dan syahwat sepanjang hari. Akhirnya puasa justru membentuk spiritual
konsumerisme.
Kalau
begitu, Islam seolah menjadi agama yang mendukung penindasan. Masa bodoh dengan
orang-orang yang terseok-seok memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbuka pun
seadanya. Puasa sebagai upaya merasakan kelaparan dan dahaga orang lain
akhirnya sia-sia. Berujung antipati kepada kaum yang pada bulan-bulan selain
Ramadhan ‘berpuasa’ setiap hari. Pontang-panting mengais nafkah.
Puasa
akhirnya hanya menjadi formalitas menjalankan tuntutan agama. Hanya menahan
lapar dan haus, tetapi esensi dan tujuan besar dari puasa tidak diraih. Tren
kesalehan musiman. Tidak menberikan perubahan berarti di bulan-bulan
berikutnya. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan,
“Banyak di antara orang yang berpuasa
tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Memagari euforia
Euforia
Spiritual Konsumerisme mendesak perlu diatasi. Sayang sekali jika susah payah
berpuasa selama sebulan penuh nihil tidak menghasilkan apa-apa. Alias sia-sia
belaka. Tabiat kontradiktif dengan makna Ramadhan yang sesungguhnya ini harus
dipagari. Agar tidak terus menerus menggerogoti amal ibadah kita. Ada beberapa
alasan dan upaya yang harus disadari untuk memagari spiritual konsumerisme
Ramadhan.
Pertama,
berlebih-lebihan dapat menimbulkan kemudlaratan bagi tubuh. Sangat berbahaya bagi kesehatan dan
dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit dan meresahkan jiwa. Selain itu, juga
menimbulkan ketimpangan sosial. Di satu sisi kita berfoyo-foya, di sisi lain
masih banyak orang lain merintih menanti uluran tangan. Karena itu, sudah
sepantasnya jika Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
(QS. Al-An’am: 141).
Kedua, boros
merupakan tabiat syaitaniyah. Menghambur-hamburkan harta demi memenuhi
hawa nafsu yang tak pernah usai. Tak ayal bila para pemboros disebut sebagai
saudara-saudara syaitan yang notabene makhluk sangat ingkar kepada Allah
(Al-Isra’: 27).
Ketiga,
seimbang memenuhi kebutuhan. Allah menuntun kita dengan ungkapan yang indah; Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena
itu kamu menjadi tercela dan menyesal (Al-Isra’: 29). Di satu segi tidak
diperkenankan bersifat kikir, di segi yang lain dilarang boros. Ya, nikmat yang
dianugerahkan Allah SWT harus dimanajemen dengan cerdas dan bijaksana.
Keempat, menghayati makna dan tujuan puasa yang
hakiki. Makna berpuasa harus benar-benar dihayati. Dari telaah Quraish Shihab
(1996), hakikat dan tujuan puasa diantaranya: (1) wujud kesabaran.Upaya mengendalikan diri dari
keinginan-keinginan syahwat pembelenggu jiwa; (2) meraih derajat taqwa. Menjauhi perbuatan-perbuatan yang
mendatangkan siksa dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; (3)
puasa sebagai upaya meneladani sifat-sifat Tuhan seperti Maha Pengasih dan
Maha Penyayang untuk meningkatkan idealitas sosial.
Konsumerisme
adalah tabiat manusia yang semestinya dipagari. Spiritualitas ritual puasa
adalah salah satu alternatifnya. Bukan malah biang keladi euforia konsumerisme.
Maka, sejatinya momentum puasa dimanfaatkan untuk menjulangkan empati dan
kesalehan sosial. Bukankah begitu?
FIQH
VREDIAN AULIA ALI
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Aktifis Himpunan
Mahasiswa Islam UIN Maliki Malang
*) Dimuat di Malang Post, 20 Juli 2013
Komentar
Posting Komentar