Eksistensi negara Islam dalam percaturan kebijakan dunia sering
dipertanyakan dan diragukan, bahkan cenderung diremehkan. Hal ini terlihat dari
hegemoni dan monopoli keputusan oleh beberapa negara Barat dengan kepemilikan
hak veto di PBB yang notabene cenderung merugikan pihak Islam yang bersengketa.
Pergulatan kekuatan dunia di era kini setidaknya dapat di petakan menjadi empat blok. Di masing-masing blok mayoritasnya mencirikan ideologi dan keyakinan keagamaan yang berbeda. Ranah empat blok tersebut diantaranya: pertama, blok Barat. Blok ini mencakup negara-negara Eropa dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologinya yang mendominasi. Negara-negara mayoritas penduduknya memeluk agama nasrani. Kedua, blok Asia Timur yang diawaki negara Cina dengan kedigdayaan dan monopoli perindustrian dunia. Termasuk negara-negara indocina, seperti Thailand dan Myanmar. Warga-warga didalamnya sebagian besar berbasis pada agama Budha dan Konghucu. Ketiga, Blok negara-negara hindustan yang tercermin dari negara India yang masih eksis menjadi negara yang diperhitungkan.
Sedangkan yang keempat adalah blok peradaban Islam. Posisi blok ini cenderung lemah dan tertinggal dari blok yang lain. Wilayahnya banyak yang menjadi daerah konflik. Kita bisa melihat tangisan dan darah yang bercucuran di tanah Palestina yang tak kunjung usai akibat ulah para zionis Israel. Belum lagi konflik di Afghanistan dan Syiria yang akhir-akhir ini bergolak. Di dalam blok ini belum muncul imam yang berwibawa. Negara adidaya versi Timur yang menjadi prototipe dan tauladan ideal bagi negara Islam lainnya belum unjuk gigi.
Nah, beruntunglah bagi kita para muslim bumi putra yang dilahirkan di negara yang berpotensi besar mengemban “tantangan terbesar”. Indonesia mengemban ekspektasi negara Islam duni dengan berbagai kelebihannya. Hal ini selanjutnya akan mengkonstruksi kita menjadi orang-orang dan negara yang besar.
Kenapa bisa begitu? Karena Indonesia memiliki setidaknya lima faktor pusaka diantaranya:
(1) Indonesia adalah negara dengan penduduk yang memeluk Islam yang terbesar di dunia. Segi kuantitas masa menjadi kekuatan potensial untuk bersama-sama mengemban kekosongan posisi di atas; (2) Wilayah teritorial Indonesia merupakan yang terluas dibandingkan negara Islam lainnya. Hanya Indonesia yang memiliki tiga zona waktu berbeda yang tidak ditemukan di negara Islam lainnya; (3) Kekayaan alam yang melimpah, karena sejak dahulu kala selalu dipuja-puja bangsa. Hmm..., kayak lagu Indonesia Pusaka saja. Ya, tetapi memang benar. Bangsa Arab boleh halnya memiliki emas hitam (minyak) yang berlimpah, namun lama kelamaan tentu akan berkurang volemenya, apalagi dengan gencarnya eksploitasi. Di Indonesia terdapat sumber energi panas bumi yang tak terbatas. Energi ini berasal dari bawah gunung yang banyak sekali ditemukan di Indonesia. Belum lagi sumber energi matahari, air, udara dan lainnya yang melimpah ruah di Indonesia; (4) Letak geografis yang strategis. Semisal selat Malaka yang menjadi tempat lalu lintas kapal dagang dan kapal perang dunia; (5) Model Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam modern (Tawassut). Khazanah pemikirannya tidak ekstrim “kanan” maupun ekstrim “kiri”.
Maka, mulai saat ini mari kita berdo’a agar mendapatkan tantangan yang besar sembari berdo’a pula diberi kemampuan yang besar untuk melaksanakannya. Hal yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana menempa diri agar berkualitas tinggi. Dengan syarat tidak tanggung-tanggung. Penyesalan tidak hadir pada permulaan. Mumpung masih mempunyai kesempatan untuk berproses, maka jangan semaunya, jangan seenaknya dan jangan sesempatnya. Akan sia-sia lima faktor di atas bila tidak diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia Muslim yang mumpuni. Para muda-mudi dalam hal ini akan selalu diharapkan sebagai tunas bangsa dan label agent of change akan selalu tersemat. Maka harus dipertanggungjawabkan bukan?
Apapun disiplin ilmunya yang kita tekuni, mari berjuang di bidang masih-masing. Tidak ada ilmu yang lebih superior nilainya dari yang lainnya. Semua tergantung pada niat belajar dan mengamalkannya. Yang ditanya kelak bukan an sich ilmunya, tapi yang terpenting adalah amalnya. Belajar ilmu santet tidak apa-apa, asalkan ilmu itu digunakan untuk kemaslahatan, semisal untuk menangkal “kiriman” para penyantet yang meresahkan masyarakat. Walaupun belajar ilmu agama namun hanya untuk membuat onar dan memecah belah umat (seperti yang dilakukan para orientas dengan sinisme terhadap Islam), justru akan mendatangkan kemudlaratan dan mengundang adzab Allah. Bukankah begitu?
Disamping kesibukan disiplin keilmuan yang kita geluti, hendaknya kita juga menikmati seni atau sastra. Tentunya seni atau sastra yang santun. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan emosional insani. Selain itu, seni dan sastra dinilai dapat menetralisir kekerasan dan ekstrimisme dan radikalisme yang bisa menjurus kepada anarkisme dan terorisme.
Mari bergegas. Saatnya untu menempa diri sebenar-benarnya. Bukan saatnya lagi kita berbengong ria melihat kedigdayaan bangsa lain. Harapan negara-negara muslim dunia tertuju kepada negara kita. Ya, karena tantangan terbesar umat Islam dunia diemban Indonesia.
(*Artikel
ini berasal dari ringkasan pidato Prof. Dr. KH. Masdar Farid (dari Rois Syuro Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama) yang disampaikan pada acara khotmil qur’an terakhir
Ma’had Sunan Ampel Al-Aly UIN Maliki Malang pada hari kamis malam jum’at,
tanggal 27 Juni 2013 di gedung Jendral Besar Shoeharto UIN Maliki Malang dengan
penambahan dan perubahan struktur kalimat seperlunya.
Komentar
Posting Komentar